Vrydag 14 Junie 2013

MAKALAH REINVETING GOVERNMENT “STUDI KASUS PELAYANAN PUBLIK PADA PENDIDIKAN GRATIS”


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Nilai modal manusia (human capital) Jawa Barat  tidak hanya ditentukan oleh besarnya jumlah populasi penduduk atau tenaga kerja kasar (Labour Intensif), tetapi sangat ditentukan oleh tenaga kerja intelektual (brain intensif), maka gagasan gubernur  terpilih sangat tepat bahwa pendidikan dijadikan prioritas pembangunan di Jawa Barat.
Depdiknas telah menetapkan Kebijakan Pendidikan Dasar 9 Tahun  dapat meningkat mutunya, akuntabel dan lebih merata dengan biaya yang tidak mahal dan terjangkau, khususnya warga yang tergolong miskin untuk menghindari pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat miskin”.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Barat Tahun  2005 – 2025, yang menyatakan bahwa “Jawa Barat yang sejahtera ditandai dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar masyarakat baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan termasuk di dalamnya pendidikan.
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yaitu sekitar 41,6 juta jiwa, 11,2 juta jiwa (27%) diantaranya penduduk miskin dengan jumlah pengangguran sekitar 4,5 juta jiwa (10,95%) sehingga dipandang perlu mempersiapkan kebijakan yang dapat meringankan biaya pendidikan bagi masyarakat miskin di perkotaan dan pedesaan pada jenjang pendidikan dasar.
B.     Tujuan
1)      Untuk mengetahui seberapa pentingnya peranan pendidikan gratis terhadap masyarakat miskin.
2)      Untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu kebijakan pendidikan gratis yang dikeluarkan pemeritah terhadap negara kita, yang bias dikatakan negara yang masih berkembang.

C.    Rumusan Masalah
1)      Apakah ruang lingkup dari sebuah pelayanan pendidikan gratis tersebut?
2)      Apa sajakah factor-faktor yang mempengaruhi pelayanan?
3)      Bagaimana standar pelayanan minimal dari pendidikan gratis tersebut?
4)      Apa sajakah perbaikan-perbaikan yang perlu dibenahi dalam pelayanan tersebut?

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ruang Lingkup Pelayanan Pendidikan Gratis
Yang dimaksud dengan “pendidikan gratis” di sini adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah. Dalam pengertian seperti itu, konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid
Sekolah adalah sebuah lembaga pendidikan yang mana di dalam lembaga pendidikan tersebut terdapat kegiatan proses belajar mengajar, yang mengemban falsafah Tut Wuri Handayani. Dalam perjalanannya sekolah telah mencetak generasi-generasi yang mana keberadaan generasi pelajar ini telah ikut menentukan sejarah kemerdekaan bagi Indonesia, mulai dari Angkatan 45’ yang terdiri dari Hatta, Syahril, Tan Malaka dkk. Angkatan 60’ yang di kental sebagai angkatan yang kritis terhadap Soekarno. Angkatan 90’ yang mempelopori Reformasi. Semuanya tidak akan pernah lepas dari suatu pengajaran yang terpusat pada pendidikan.
Namun seiring berjalannya waktu pendidikan yang menajadi sebuah momok yang sangat penting ternyata tidak selamanya pendidikan itu murah, yang telah menyebabkan lahirnya sebuah kumunitas buta huruf pada masyarakat Indonesia. Mahalnya pendidikan di Indonesia ini tentunya tidak lepas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, jangankan untuk sekolah, untuk “mengepulkan asap di dapur” saja sulit, apalagi untuk masalah pendidikan.
Sepertinya masalah tidak akan selamanya jadi borok yang sulit untuk di obati, bergai macam cara sudah ditempuh namun masalah buta huruf sepertinya memang sangat sulit untuk di entaskan. Salah satu cara yang di tempuh pemimpin kita untuk menekan buta huruf adalah dengan cara sistem sekolah gratis atau sistem wajib belajar 9 tahun yang di biayai oleh pemerintah atau istilah yang tidak asing di telinga kita adalah dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Walaupun tidak semua buta huruf dapat di barantas namun setidak-tidaknya pemerintah kita sudah sangat peduli terhadap pendidikan kita yang begitu memprihatinkan.

Sebenarnya sekolah gratis sudah lama di galakkan, namun pada kenyataannya sekolah gratis baru begitu mendapat perhatian oleh public pada akhir-akhir tahun 2008. apakah dibalik masalah sekolah gratis yang mulai hangat pada akhir tahun ini ada kepentingan-kepentingan lain yang tentunya mempunyai tujuan dan maksut yang samar-samar ? Jika kita mencoba untuk menganalisa masalah sekolah gratis ini, dapat kita tarik beberapa poin atau sebuah alasan kenapa sekolah gratis baru mendapat sorotan dari publik di akhir tahun.
·         Yang pertama mungkin saja di karenakan tidak ada dana, pendapat ini diperkuat dengan bukti bahwa bangsa Indonesia pada saat ini adalah fase kritis dimana harga minyak dunia menanjak tajam yang menyebabkan perhatian pemerintah lebih terpusat pada masalah subsidi BBM. Masalah ini juga dipertajam dengan banyaknya dana bantuan yang di peruntukkan kepada masalah pendidikan disunat dan diotak-atik oleh tangan jahil yang tidak bertanggung jawab, dan akhirnya dana tersebut tidak mencukupi untuk membiayai pendidikan.
·         Alasan yang kedua adalah tidak adanya tujuan yang jelas dan langkah-langkah kongkrit atas sekolah gratis tersebut. Hal ini terbukti dengan kurikulum yang dipraktekkan kerap kali bersifat rancu, seperti kurikulum 1994, KBK, KTSP dan sebagainya. Ini memperlihatkan bahwa seolah-olah pendidikan itu adalah sebuah kelinci percobaan yang tidak tahu tujuannya, karena setiap tahun kurikulum yang disajikan selalu berubah-ubah, belum tuntas kurikulum yang satu, kurikulum yang lain sudah menunggu untuk di uji cobakan. Alasan yang ketiga adalah manifesto politik, kalau dipikir-pikir mungkin ada benarnya juga kenapa sekolah gratis baru hangat-hangat dibicarakan pada akhir tahun, mungkin karena sebentar lagi akan dilaksanakannya pemilihan umum, dan untuk mengangkat legistimate public bisa saja orang bersikap menjilat dan mengambil muka agar mereka mendapat dukungan dari rakyat atas kepeduliannya terhadap pendidikan di Indonesia.

B.     Faktor-faktor yang mempengaruhi pelayanan
Factor yang mempengaruhi dalam implementasi pelayanan pendidikan gratis adalah adanya keterbatasan Dana dari pemerintah daerah untuk membiayai program tersebut.
Implikasi dari keterbatasan dana untuk membiayai program bebas biaya sekolah tersebut mengakibatkan tidak semua sekolahan disekitar kabupaten jawabarat tidak mendapatkan pelayanan pendidikan gratis atau bebas biaya sekolah. Sementara itu, factor politik yang diindikasikan mempengaruhi implementasi program pendidikan gratis teryata tidak terbukti.
Kesimpulan terakhir yang dapat ditarik yaitu digulirnya bebas biaya sekolah untuk membantu dan meringankan beban orang tua siswa dalam membiayai pendidikan anaknya memang dapat tercapai walapun manfaat tersebut tidak dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Dari data-data yang ditemukan, bahwa pelajar di Indonesia yang dapat memasuki ke jenjang Universias itu persentasenya hanya sebesar 20% jika dibadingkan dengan jumlah pelajar di Indonesia, perbandingan tersebut memang perbedaanya sangat tajam jika dibandingkan dengan Negara Indonesia yang dikenal sebagai Negara yang memiliki jumlah penduduk yang padat ternyata minim pada sektor pendidikan. Hal ini tentunya tidak terlepas dari masalah yang telah menjadi “kutukan” pada bangsa ini, yaitu pada masalah mahalnya pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Lain halnya dengan persentase pendidikan yang ada di Cina, jumlah persentase pelajar yang memasuki lembaga Universitas adalah 80% jika dibandingkan dengan jumlah pelajar yang ada di Cina, dan masalah ini tidak pula terlepas pada masalah ekonomi, yaitu murahnya pendidikan bagi masyarakat Cina.
Untuk masalah perbedaan tingkat ekonomi yang terjadi pada tiap-tiap daerah, langkah-langkah yang seharus diambil pada tiap daerah adalah dengan menerapkan subsidi silang. Dimana pada subsidi silang ini, keluarga yang mampu dari segi ekonomi sudah seharusnyalah mereka memberikan bantuan kepada masyarakat yang miskin. Karena inti dari sekolah gratis ini yang menjadi perioritas adalah masyarakat miskin atau masyarakat mengah kebawah yang tidak mampu membiayai pendidikan. Karena masalah sekolah garatis tidaklah semuanya merata di setiap daerah, dengan diterapkanya sistem subsidi silang dapat diharapkan daerah-daerah yang tidak mendapat dana bantuan atau subsidi dapat tertutupi dengan sistem subsidi silang. Ketidak merataanya sekaolah gratis pada setiap daerah bukan hanya terhalang karena masalah dana, namun masalah sekolah gratis diperparah oleh tindakan oknum yang tidak bertanggung jawab yang menyunat-nyunat dana untuk sekolah gratis. Pada dasarnya subsidi yang diberikan dalam bentuk sekolah garatis itu berasal dari pajak yang anda bayar, dan jika memang anda adalah seorang warga Negara yang sadar pajak, maka sudah sepantasnya anda untuk mengenyam pendidikan yang diselenggaraan oleh Negara.
idikan khususnya untuk jenjang pendidikan SMP/MTs belum tersedia secara merata, Mutu (quality) dan relevansi (relevancy) pendidikan, dapat terlihat pada kualitas pendidikan masih relatif rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik, manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien dengan anggaran pendidikan yang belum tersedia secara memadai, Selain itu tuntutan persaingan  global memerlukan SDM berkualitas yang memiliki daya saing tinggi.
Dalam konteks persaingan global, Kenichi Ohmae (1995:2) menyebut adanya tantangan yang diberi label : Borderless World yang meliputi fenomena 4”I’s” terdiri dari : 1) Investment, 2) industry, 3) information technology, dan 4) Individual consumers. Berkenaan dengan fenomena ini maka proses dan pembangunan pendidikan menurut Suyanto (dalam Tilaar, 2002:102) harus merupakan upaya sadar dari pemerintah, masyarakat dan keluarga yang perlu dilakukan secara terus menerus tanpa henti supaya mampu merespons secara pro aktif fenomena 4”I’s” tersebut. Tantangan terbesar yang dihadapi dalam program penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun  adalah kemampuan ekonomi masyarakat yang relatif masih rendah. Hal yang sama terjadi pada pendidikan menengah (SMA/SMK), tingginya angka mengulang sebesar 2.182 orang untuk siswa SMA dan 925 orang untuk siswa SMK serta angka putus sekolah sebesar 2.962 orang untuk SMA dan 3.347 orang untuk SMK, persoalan yang dihadapi pada jenjang pendidikan menengah sama yaitu keterbatasan ekonomi orang tua siswa.
Kajian terhadap upaya peningkatan penyelenggaraan pendidikan dasar dapat dilihat dari tiga aspek yaitu: Pemerataan (equity) antara lain tingkat pendidikan penduduk masih relatif rendah, dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya teratasi dalam pembangunan pendidikan, masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antar kelompok masyarakat seperti penduduk kaya dan miskin, antara penduduk perkotaan dan perdesaan, Fasilitas pelayananan pendidikangratis.  
C.    Standar Pelayanan Minimalis
standar pelayanan minimal pendidikan dasar selanjutnya disebut SPM Pendidikan Dasar adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan merupakan  ketentuan tentang jumlah dan mutu layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Kantor Wilayah Kementerian Agama, dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota secara langsung maupun secara tidak langsung melalui sekolah dan madrasah. Penerapan SPM dimaksudkan untuk memastikan bahwa di setiap sekolah dan madrasah terpenuhi kondisi minimum yang dibutuhkan untuk menjamin terselenggaranya proses pembelajaran yang memadai.
SPM Pendidikan meliputi layanan-layanan:
yang merupakan tanggung-jawab langsung Pemerintah Kabupaten/Kota yang menjadi tugas pokok dan fungsi dinas pendidikan untuk sekolah atau kantor departemen agama untuk madrasah (misalnya: penyediaan ruang kelas dan penyediaan guru yang memenuhi persyaratan kualifikasi maupun kompetensi);
yang merupakan tanggung-jawab tidak langsung Pemerintah Kabupaten/Kota c/q Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama – karena layanan diberikan oleh pihak sekolah dan madrasah, para guru dan tenaga kependidikan, dengan dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Kantor Kementerian Agama (contoh: persiapan rencana pembelajaran dan evaluasi hasil belajar siswa terjadi di sekolah, dilaksanakan oleh guru tetapi diawasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota).
SPM Pendidikan menyatakan secara tegas dan rinci berbagai tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota c/q oleh Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama dalam menyelenggarakan layanan pendidikan.
SPM Pendidikan menyatakan secara tegas dan rinci berbagai hal yang harus disediakan dan dilakukan oleh dinas pendidikan, sekolah/madrasah untuk memastikan bahwa pembelajaran bisa berjalan dengan baik.
SPM menyatakan dengan jelas dan tegas kepada warga masyarakat tentang tingkat layanan pendidikan yang dapat mereka peroleh dari sekolah/ madrasah di daerah mereka masing-masing.
SPM tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan tahapan menuju pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Dengan ditetapkannya SPM Bidang Pendidikan Dasar maka setiap daerah perlu menyusun perencanaan program/kegiatan untuk mencapai SPM. Untuk mengukur sejauh mana kinerja dinas pendidikan telah mencapai SPM atau belum maka dinas pendidikan perlu melakukan pemetaan terhadap kinerja layanan dinas pendidikan/depag serta sekolah-sekolah (SD/MI dan SMP/MTs). Dari pemetaan tersebut diketahui kinerja mana yang belum mencapai SPM dan kinerja mana yang sudah mencapai SPM.
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, dinas pendidikan perlu menganalisis pencapaian masing-masing indikator yang tercantum dalam standar pelayanan minimum (SPM) bidang pendidikan. Hasil analisis kondisi pencapaian SPM digunakan sebagai bahan masukan dalam merumuskan kebijakan, program, kegiatan dan juga pembiayaan ketika menyusun dokumen rencana strategis pencapaian SPM.
Dengan demikian dalam mengembangkan rencana peningkatan mutu pendidikan setiap kabupaten/kota perlu memperhatikan kondisi pencapaian SPM di daerah masing-masing. Setiap tahun program pencapaian SPM perlu dilaksanakan sampai SPM benar-benar tercapai. Pelaksanaan dan capaian program juga di monitor dan dievaluasi sehingga diketahui indikator apa saja yang belum dicapai, dan berapa perkiraan biaya yang diperlukan untuk mencapai SPM. Sehingga diharapkan semua kabupaten/kota telah mencapai SPM pada tahun 2014.
mencapaian SPM pada pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dimulai dari kondisi yang ada saat ini, pencapaian SPM sampai dengan memenuhi SNP. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1)    Analisis Kondisi
Pada proses pencapaian SPM, analisis terhadap kondisi yang ada dilakukan terhadap aspek pendidik dan ketersediaan sarana dan prasarana. Kondisi yang dilihat dari aspek pendidik adalah kualifikasi dan sertifikasi. Sementara aspek sarana prasarana antara lain buku untuk peserta didik dan set alat/media pembelajaran IPA.
2)     Target SPM
Target pencapaian SPM antara lain setiap SD/MI memiliki pendidik yang berkualifikasi S-1/D-IV dan memiliki sertifikasi pendidik sekurang-kurangnya 2 (dua) orang. Setiap peserta didik memiliki satu set buku yang terdiri atas 4 (empat) mata pelajaran atau buku elektronik yang setara dengan satu set buku dari 4 mata pelajaran serta satu set alat/media pembelajaran IPA tanpa ruang laboratorium.
3)     Pencapaian Standar Nasional Pendidikan
Setelah SPM terpenuhi di semua satuan/program pendidikan, maka pencapaian SNP dicanangkan dengan indikator pencapaian antara lain semua pendidik telah memiliki kualifikasi S-1/D-IV dan sertifikat pendidik. Setiap peserta didik memiliki satu set buku atau buku elektronik lengkap untuk semua mata pelajaran. Setiap satuan/program pendidikan minimal memiliki laboratorium dan set alat/media pembelajaran IPA, laboratorium bahasa, dan laboratorium komputer. Juga setiap satuan/program pendidikan memiliki tenaga administrasi.

D.    Perbaikan-perbaikan yang harus diperbaiki
Patut diakui bahwa setelah hampir satu dasawarsa kebijakan wajib belajar 9 tahun ini berjalan,  banyak perkembangan yang dicapai. Secara umum terjadi peningkatan sangat signifikan pada taraf pendidikan masyarakat yang ditandai oleh cepatnya penurunan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas, peningkatan rata-rata lama sekolah penduduk usia 7-15 tahun serta tingginya Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/SDLB/MI dan SMP/SMPLB/MTs yang sudah lebih dari 90%.
Akan tetapi, banyak catatan kritis terhadap ‘keberhasilan’ di atas.  Sasaran Program Penuntasan Pendidikan Dasar 9 Tahun meliputi: (1) Semua Anak 7-15 tahun bisa sekolah melalui pemenuhan akses dan daya tampung (2) Pendidikan dasar tanpa dipungut biaya melalui penyediaan BOS untuk memenuhi 100 % biaya operasional sekolah; (3) Layanan pendidikan dasar sesuai SPM (Standar Pelayanan Minimal) melalui pemenuhan SPM pada SD dan SMP (sesuai dengan UU 20/2003 pasal 51 ayat 4) (paparan Mendiknas pada Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI tanggal 22 September 2011 mengenai target RKA KL). Harus diakui, ketiga sasaran tersebut belum dapat diwujudkan pemerintah secara optimal.
Wajib belajar pendidikan 12 tahun merupakan gagasan progresif dalam rangka mendorong pemenuhan hak warga Negara akan pendidikan. Sesungguhnya dengan kemauan dan komitmen politik yang kuat dari berbagai pihak, gagasan tersebut dapat direalisasikan segera. Melihat kemampuan anggaran kita, Pendidikan 12 tahun, sekali lagi, sangat mungkin diwujudkan mulai tahun depan.
Yang mesti sangat diperhatikan adalah, gagasan tersebut akan terealisasi dengan baik jika ada sinergi antara pusat dan daerah untuk membenahi sejumlah persoalan yang selama ini meliputi implementasi anggaran dan program pendidikan nasional. Sebagai contoh antara lain:
1)      BOS (Bantuan Operasional Sekolah)
BOS secara umum sudah mulai berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah di tingkat pendidikan dasar. Instrumen ini perlu diteruskan dengan memastikan peningkatan penganggaran yang lebih tepat berdasar pada satuan biaya yang dibutuhkan (unit cost) yang dihitung secara cermat, berikut pengawasan pelaksanaan anggaran yang tegas untuk merealisasikan pendidikan dasar gratis yang bermutu.
Paling urgen untuk dibenahi adalah perbaikan mekanisme penyaluran BOS yang menyebabkan terjadi keterlambatan pencairan atau penerimaan BOS oleh sekolah. Hingga triwulan ketiga ini, penyaluran BOS belum maksimal. Untuk itu, pemerintah didesak untuk kembali pada mekanisme tahun sebelumnya, dimana dana BOS langsung diterima oleh sekolah dari pusat melalui skema dekonsentrasi. Namun, untuk memaksimalkan potensi dan kewenangan otonomi daerah, pusat sebaiknya segera menyiapkan regulasi yang lebih matang agar daerah tidak lagi merasa ketakutan melakukan pelanggaran regulasi / hukum.
Kurangnya sosialisasi menyebabkan proses partisipasi masyarakat/komunitas pada pengelolaan anggaran operasional sekolah menjadi lemah. Di sisi lain, Kurangnya tindakan tegas pemerintah terhadap sekolah yang tidak transparan dan akuntabel dalam pengelolaan BOS membuat banyak penyalah gunaan BOS terjadi di mulai tingkat sekolah. Hal ini juga menyebabkan masih terjadi pungutan-pungutan yang dilakukan oleh sekolah tanpa adanya mekanisme pengaduan masyarakat yang handal maupun pengawasan dan tindakan tegas dari pemerintah.
Lemahnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana BOS membuat BOS yang memang belum mencapai standar pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan SNP tidak cukup efektif mengurangi beban masyarakat untuk memenuhi kewajiban belajar 9 tahun, apalagi menggratiskannya.
2)      DAU (Dana Alokasi Umum)
Selama ini DAU berfungsi untuk memenuhi dana operasional pendidik dan tenaga kependidikan. DAU merupakan komponen anggaran terbesar (73,22% untuk anggaran 2012) dari anggaran fungsi pendidikan nasional. Selama ini belum ada evaluasi memadai atas pemanfaatan anggaran untuk guru dan tenaga kependidikan ini. Kualitas dan kinerja guru masih banyak yang memprihatinkan, meski pemerintah memberikan tunjangan besar bagi guru profesional (dengan sertifikasi). Perlu ada evaluasi dan pembinaan lebih serius untuk guru  sebagai ujung tombak pendidikan.
3)       DAK (Dana Alokasi Khusus)
DAK sebagai conditional transfer dimaksudkan sebagai insentif agar pemerintah daerah mampu menyelenggarakan urusan tersebut dengan sebaik-baiknya. Tujuan yang ingin dicapai dengan DAK adalah pencapaian prioritas nasional pada sektor-sektor yang merupakan urusan dasar (pelayanan dasar) melalui pencapaian standar pelayanan minimum (SPM) secara merata bagi seluruh warga negara di seluruh daerah.
Pembagian DAK Pendidikan masih banyak yang belum menyasar secara tepat. Belum ada peta/gambaran yang memuat data kondisi sarana dan prasarana sekolah.  Dasar yang digunakan untuk menentukan daerah dan alokasi DAK belum jelas. DAPODIK  selama ini belum dapat dijadikan basis penentuan kebijakan. Ada daerah yang kemampuan fiskalnya rendah (sesuai salah satu kriteria pemberian DAK) namun memperoleh jumlah DAK yang lebih sedikit dibandingkan daerah yang kemampuan fiskalnya sudah baik. Penentuan daerah dan jumlah alokasi dana yang diterima daerah didasarkan pada kriteria umum, khusus, dan teknis. Namun penentuannya belum transparan.
Masalah lain adalah dana pendamping DAK sebesar 10% juga dianggap memberatkan bagi daerah dengan PAD yang minim. Oleh karenanya sebaiknya diberikan diskresi untuk tidak menyediakan dana pendamping (sebagaimana dimungkinkan PP 55/2005 tentang dana perimbangan).
Tahun 2010 DAK seluruhnya digunakan untuk fisik. Tahun 2011 ini, peruntukkan DAK dibagi untuk fisik dan mutu (pengadaan/peningkatan alat) dengan rentang alokasi 35% - 65% disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Secara singkat, berikut kelemahan implementasi DAK :
- Akurasi data teknis yang minim. Belum ada data/peta lengkap kondisi sarana pendidikan; sosialisasi mengenai peruntukkan dan penggunaan DAK pendidikan masih kurang yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan di daerah; komunikasi dan koordinasi kemendiknas (Dirjen Dikdas) mengenai DAK masih kurang.
- Sinkronisasi antara peruntukkan dana APBN dan APBD yang lemah.
- Belum adanya perencanaan DAK berbasis kinerja
- Keterlambatan Juknis, bentuk perubahan dari mekanisme belanja modal menjadi hibah kepenerima manfaat/sekolah dalam DAK bidang pendidikan tahun 2009 dan perubahan dari hibah ke belanja modal pada tahun 2010, masih ada Juklak yang harus ditunggu selain Juknis DAK, Juknis dianggap terlalu rigid
- Belum adanya peraturan yang mengatur mengenai penggunaan SILPA yang berasal dari sisa tender/optimalisasi ataupun dana DAK  yang  tidak dilaksanakan sebelum 2010














BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Kesimpulanya adalah pemerintah kita memang sudah sangat peduli pada pendidikan kita namun sayangnya kenapa baru mendapat sorotan pada akhir-akhir tahun menjelang Pemilu. Selain itu masalah sekolah gratis atau wajib belajar yang diterapkan pemerintah itu selalu terhalang oleh bayaknya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang telah mengotak-atik dan meyunat dana subsidi yang seharusnya diberikan untuk pendidikan bangsa Indonesia yang semakin memprihatinkan. Dan untuk mempercepat tercipta kemerataan sistem sekolah garatis di Indonesia juga harus di tunjang dengan sistem subsidi silang yang harus di terapkan oleh masyarakat yang mampu, yang mana dengan adanya sistem subsidi silang ini dapat diharapkan dapat mengurangi beban Negara. Karena masalah pendidikan itu bukan saja masalah Negara namun pendidikan juga merupakan tanggung jawab kita bersama.

2.      Saran
Sebaiknya dalam pelayanan pendidikan gratis pemerintah lebih mengutamakan masyarakat miskin yang tingal di daerah atau kecamatan terpencil, yang jauh dari PUSDA atau buku-buku atau peralatan sekolah tidak memadai.
Dengan dikeluarkan kebijakan pendidikan gratis tersebut dapat menguras APBN, dengan demikian apakah pemerintah dapat menanggulangi masyarakat miskin di negara kita,




DAFTAR PUSTAKA
·         ttp://syariahpublications.com/2007/02/26/pendidikan-gratis-di-indonesia-bukan-mimpi/
·         http://agorsiloku.wordpress.com/2006/08/02/pendidikan-gratis-untuk-anak-indonesia/
·          

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking