BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Nilai modal manusia
(human capital) Jawa Barat tidak
hanya ditentukan oleh besarnya jumlah populasi penduduk atau tenaga kerja kasar
(Labour Intensif), tetapi sangat ditentukan oleh tenaga kerja
intelektual (brain intensif), maka gagasan gubernur terpilih sangat tepat bahwa pendidikan
dijadikan prioritas pembangunan di Jawa Barat.
Depdiknas telah menetapkan Kebijakan Pendidikan Dasar 9
Tahun dapat meningkat mutunya, akuntabel
dan lebih merata dengan biaya yang tidak mahal dan terjangkau, khususnya
warga yang tergolong miskin untuk menghindari pendidikan yang semakin mahal dan
tidak terjangkau oleh rakyat miskin”.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 – 2025, yang menyatakan bahwa “Jawa
Barat yang sejahtera ditandai dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar
masyarakat baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan
termasuk di dalamnya pendidikan”.
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk
terbesar di Indonesia yaitu sekitar 41,6 juta jiwa, 11,2 juta jiwa (27%)
diantaranya penduduk miskin dengan jumlah pengangguran sekitar 4,5 juta jiwa
(10,95%) sehingga dipandang perlu mempersiapkan kebijakan yang dapat
meringankan biaya pendidikan bagi masyarakat miskin di perkotaan dan pedesaan
pada jenjang pendidikan dasar.
B.
Tujuan
1) Untuk
mengetahui seberapa pentingnya peranan pendidikan gratis terhadap masyarakat
miskin.
2) Untuk
mengetahui layak atau tidaknya suatu kebijakan pendidikan gratis yang
dikeluarkan pemeritah terhadap negara kita, yang bias dikatakan negara yang
masih berkembang.
C.
Rumusan
Masalah
1) Apakah
ruang lingkup dari sebuah pelayanan pendidikan gratis tersebut?
2) Apa
sajakah factor-faktor yang mempengaruhi pelayanan?
3) Bagaimana
standar pelayanan minimal dari pendidikan gratis tersebut?
4) Apa
sajakah perbaikan-perbaikan yang perlu dibenahi dalam pelayanan tersebut?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ruang
Lingkup Pelayanan Pendidikan Gratis
Yang dimaksud
dengan “pendidikan gratis” di sini adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa
mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk
keperluan operasional sekolah. Dalam pengertian seperti itu, konsekuensi
kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada perhitungan tentang biaya
satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa
sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu
murid
Sekolah adalah sebuah lembaga pendidikan yang mana di
dalam lembaga pendidikan tersebut terdapat kegiatan proses belajar mengajar,
yang mengemban falsafah Tut Wuri Handayani. Dalam perjalanannya sekolah telah
mencetak generasi-generasi yang mana keberadaan generasi pelajar ini telah ikut
menentukan sejarah kemerdekaan bagi Indonesia, mulai dari Angkatan 45’ yang
terdiri dari Hatta, Syahril, Tan Malaka dkk. Angkatan 60’ yang di kental
sebagai angkatan yang kritis terhadap Soekarno. Angkatan 90’ yang mempelopori
Reformasi. Semuanya tidak akan pernah lepas dari suatu pengajaran yang terpusat
pada pendidikan.
Namun seiring berjalannya waktu pendidikan yang
menajadi sebuah momok yang sangat penting ternyata tidak selamanya pendidikan
itu murah, yang telah menyebabkan lahirnya sebuah kumunitas buta huruf pada
masyarakat Indonesia. Mahalnya pendidikan di Indonesia ini tentunya tidak lepas
dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, jangankan untuk sekolah, untuk
“mengepulkan asap di dapur” saja sulit, apalagi untuk masalah pendidikan.
Sepertinya
masalah tidak akan selamanya jadi borok yang sulit untuk di obati, bergai macam
cara sudah ditempuh namun masalah buta huruf sepertinya memang sangat sulit
untuk di entaskan. Salah satu cara yang di tempuh pemimpin kita untuk menekan
buta huruf adalah dengan cara sistem sekolah gratis atau sistem wajib belajar 9
tahun yang di biayai oleh pemerintah atau istilah yang tidak asing di telinga
kita adalah dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Walaupun tidak semua buta
huruf dapat di barantas namun setidak-tidaknya pemerintah kita sudah sangat
peduli terhadap pendidikan kita yang begitu memprihatinkan.
Sebenarnya sekolah gratis sudah lama di galakkan,
namun pada kenyataannya sekolah gratis baru begitu mendapat perhatian oleh
public pada akhir-akhir tahun 2008. apakah dibalik masalah sekolah gratis yang
mulai hangat pada akhir tahun ini ada kepentingan-kepentingan lain yang
tentunya mempunyai tujuan dan maksut yang samar-samar ? Jika kita mencoba untuk
menganalisa masalah sekolah gratis ini, dapat kita tarik beberapa poin atau
sebuah alasan kenapa sekolah gratis baru mendapat sorotan dari publik di akhir
tahun.
·
Yang pertama mungkin saja di karenakan
tidak ada dana, pendapat ini diperkuat dengan bukti bahwa bangsa Indonesia pada
saat ini adalah fase kritis dimana harga minyak dunia menanjak tajam yang
menyebabkan perhatian pemerintah lebih terpusat pada masalah subsidi BBM.
Masalah ini juga dipertajam dengan banyaknya dana bantuan yang di peruntukkan
kepada masalah pendidikan disunat dan diotak-atik oleh tangan jahil yang tidak
bertanggung jawab, dan akhirnya dana tersebut tidak mencukupi untuk membiayai
pendidikan.
·
Alasan yang kedua adalah tidak adanya
tujuan yang jelas dan langkah-langkah kongkrit atas sekolah gratis tersebut.
Hal ini terbukti dengan kurikulum yang dipraktekkan kerap kali bersifat rancu,
seperti kurikulum 1994, KBK, KTSP dan sebagainya. Ini memperlihatkan bahwa
seolah-olah pendidikan itu adalah sebuah kelinci percobaan yang tidak tahu
tujuannya, karena setiap tahun kurikulum yang disajikan selalu berubah-ubah,
belum tuntas kurikulum yang satu, kurikulum yang lain sudah menunggu untuk di
uji cobakan. Alasan yang ketiga adalah manifesto politik, kalau dipikir-pikir
mungkin ada benarnya juga kenapa sekolah gratis baru hangat-hangat dibicarakan
pada akhir tahun, mungkin karena sebentar lagi akan dilaksanakannya pemilihan
umum, dan untuk mengangkat legistimate public bisa saja orang bersikap menjilat
dan mengambil muka agar mereka mendapat dukungan dari rakyat atas kepeduliannya
terhadap pendidikan di Indonesia.
B.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi pelayanan
Factor yang mempengaruhi dalam implementasi
pelayanan pendidikan gratis adalah adanya keterbatasan Dana dari pemerintah
daerah untuk membiayai program tersebut.
Implikasi
dari keterbatasan dana untuk membiayai program bebas biaya sekolah tersebut
mengakibatkan tidak semua sekolahan disekitar kabupaten jawabarat tidak
mendapatkan pelayanan pendidikan gratis atau bebas biaya sekolah. Sementara
itu, factor politik yang diindikasikan mempengaruhi implementasi program
pendidikan gratis teryata tidak terbukti.
Kesimpulan terakhir yang dapat ditarik yaitu
digulirnya bebas biaya sekolah untuk membantu dan meringankan beban orang tua
siswa dalam membiayai pendidikan anaknya memang dapat tercapai walapun manfaat
tersebut tidak dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Dari
data-data yang ditemukan, bahwa pelajar di Indonesia yang dapat memasuki ke
jenjang Universias itu persentasenya hanya sebesar 20% jika dibadingkan dengan
jumlah pelajar di Indonesia, perbandingan tersebut memang perbedaanya sangat
tajam jika dibandingkan dengan Negara Indonesia yang dikenal sebagai Negara
yang memiliki jumlah penduduk yang padat ternyata minim pada sektor pendidikan.
Hal ini tentunya tidak terlepas dari masalah yang telah menjadi “kutukan” pada
bangsa ini, yaitu pada masalah mahalnya pendidikan bagi masyarakat Indonesia.
Lain halnya dengan persentase pendidikan yang ada di Cina, jumlah persentase
pelajar yang memasuki lembaga Universitas adalah 80% jika dibandingkan dengan
jumlah pelajar yang ada di Cina, dan masalah ini tidak pula terlepas pada
masalah ekonomi, yaitu murahnya pendidikan bagi masyarakat Cina.
Untuk masalah perbedaan tingkat ekonomi yang terjadi
pada tiap-tiap daerah, langkah-langkah yang seharus diambil pada tiap daerah
adalah dengan menerapkan subsidi silang. Dimana pada subsidi silang ini,
keluarga yang mampu dari segi ekonomi sudah seharusnyalah mereka memberikan
bantuan kepada masyarakat yang miskin. Karena inti dari sekolah gratis ini yang
menjadi perioritas adalah masyarakat miskin atau masyarakat mengah kebawah yang
tidak mampu membiayai pendidikan. Karena masalah sekolah garatis tidaklah
semuanya merata di setiap daerah, dengan diterapkanya sistem subsidi silang
dapat diharapkan daerah-daerah yang tidak mendapat dana bantuan atau subsidi
dapat tertutupi dengan sistem subsidi silang. Ketidak merataanya sekaolah
gratis pada setiap daerah bukan hanya terhalang karena masalah dana, namun
masalah sekolah gratis diperparah oleh tindakan oknum yang tidak bertanggung
jawab yang menyunat-nyunat dana untuk sekolah gratis. Pada dasarnya subsidi
yang diberikan dalam bentuk sekolah garatis itu berasal dari pajak yang anda
bayar, dan jika memang anda adalah seorang warga Negara yang sadar pajak, maka
sudah sepantasnya anda untuk mengenyam pendidikan yang diselenggaraan oleh
Negara.
idikan khususnya
untuk jenjang pendidikan SMP/MTs belum tersedia secara merata, Mutu (quality)
dan relevansi (relevancy) pendidikan, dapat terlihat pada kualitas
pendidikan masih relatif rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi
peserta didik, manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien
dengan anggaran pendidikan yang belum tersedia secara memadai, Selain itu
tuntutan persaingan global memerlukan
SDM berkualitas yang memiliki daya saing tinggi.
Dalam konteks
persaingan global, Kenichi Ohmae (1995:2) menyebut adanya tantangan yang diberi
label : Borderless World yang meliputi fenomena 4”I’s” terdiri dari : 1)
Investment, 2) industry, 3) information technology, dan 4) Individual consumers.
Berkenaan dengan fenomena ini maka proses dan pembangunan pendidikan menurut
Suyanto (dalam Tilaar, 2002:102) harus merupakan upaya sadar dari pemerintah,
masyarakat dan keluarga yang perlu dilakukan secara terus menerus tanpa henti
supaya mampu merespons secara pro aktif fenomena 4”I’s” tersebut. Tantangan
terbesar yang dihadapi dalam program penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
9 Tahun adalah kemampuan ekonomi
masyarakat yang relatif masih rendah. Hal yang sama terjadi pada pendidikan
menengah (SMA/SMK), tingginya angka mengulang sebesar 2.182 orang untuk siswa
SMA dan 925 orang untuk siswa SMK serta angka putus sekolah sebesar 2.962 orang
untuk SMA dan 3.347 orang untuk SMK, persoalan yang dihadapi pada jenjang
pendidikan menengah sama yaitu keterbatasan ekonomi orang tua siswa.
Kajian terhadap
upaya peningkatan penyelenggaraan pendidikan dasar dapat dilihat dari tiga
aspek yaitu: Pemerataan (equity) antara lain tingkat pendidikan penduduk
masih relatif rendah, dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya
teratasi dalam pembangunan pendidikan, masih terdapat kesenjangan tingkat
pendidikan yang cukup lebar antar kelompok masyarakat seperti penduduk kaya dan
miskin, antara penduduk perkotaan dan perdesaan, Fasilitas pelayananan pendidikangratis.
C.
Standar
Pelayanan Minimalis
standar
pelayanan minimal pendidikan dasar selanjutnya disebut SPM Pendidikan Dasar
adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan
formal yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Pendidikan merupakan
ketentuan tentang jumlah dan mutu layanan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Kantor Wilayah Kementerian
Agama, dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota secara langsung maupun secara
tidak langsung melalui sekolah dan madrasah. Penerapan SPM dimaksudkan untuk
memastikan bahwa di setiap sekolah dan madrasah terpenuhi kondisi minimum yang
dibutuhkan untuk menjamin terselenggaranya proses pembelajaran yang memadai.
SPM Pendidikan meliputi layanan-layanan:
yang
merupakan tanggung-jawab langsung Pemerintah Kabupaten/Kota yang menjadi tugas
pokok dan fungsi dinas pendidikan untuk sekolah atau kantor departemen agama
untuk madrasah (misalnya: penyediaan ruang kelas dan penyediaan guru yang
memenuhi persyaratan kualifikasi maupun kompetensi);
yang
merupakan tanggung-jawab tidak langsung Pemerintah Kabupaten/Kota c/q Dinas
Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama – karena layanan diberikan oleh pihak
sekolah dan madrasah, para guru dan tenaga kependidikan, dengan dukungan yang
diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Kantor Kementerian Agama (contoh:
persiapan rencana pembelajaran dan evaluasi hasil belajar siswa terjadi di
sekolah, dilaksanakan oleh guru tetapi diawasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota).
SPM
Pendidikan menyatakan secara tegas dan rinci berbagai tanggungjawab Pemerintah
Kabupaten/Kota c/q oleh Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama dalam
menyelenggarakan layanan pendidikan.
SPM
Pendidikan menyatakan secara tegas dan rinci berbagai hal yang harus disediakan
dan dilakukan oleh dinas pendidikan, sekolah/madrasah untuk memastikan bahwa
pembelajaran bisa berjalan dengan baik.
SPM
menyatakan dengan jelas dan tegas kepada warga masyarakat tentang tingkat
layanan pendidikan yang dapat mereka peroleh dari sekolah/ madrasah di daerah
mereka masing-masing.
SPM
tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan tahapan menuju pencapaian Standar
Nasional Pendidikan (SNP).
Dengan
ditetapkannya SPM Bidang Pendidikan Dasar maka setiap daerah perlu menyusun
perencanaan program/kegiatan untuk mencapai SPM. Untuk mengukur sejauh mana
kinerja dinas pendidikan telah mencapai SPM atau belum maka dinas pendidikan
perlu melakukan pemetaan terhadap kinerja layanan dinas pendidikan/depag serta
sekolah-sekolah (SD/MI dan SMP/MTs). Dari pemetaan tersebut diketahui kinerja
mana yang belum mencapai SPM dan kinerja mana yang sudah mencapai SPM.
Berdasarkan
data yang telah dikumpulkan, dinas pendidikan perlu menganalisis pencapaian
masing-masing indikator yang tercantum dalam standar pelayanan minimum (SPM)
bidang pendidikan. Hasil analisis kondisi pencapaian SPM digunakan sebagai
bahan masukan dalam merumuskan kebijakan, program, kegiatan dan juga pembiayaan
ketika menyusun dokumen rencana strategis pencapaian SPM.
Dengan demikian dalam mengembangkan rencana
peningkatan mutu pendidikan setiap kabupaten/kota perlu memperhatikan kondisi
pencapaian SPM di daerah masing-masing. Setiap tahun program pencapaian SPM
perlu dilaksanakan sampai SPM benar-benar tercapai. Pelaksanaan dan capaian
program juga di monitor dan dievaluasi sehingga diketahui indikator apa saja
yang belum dicapai, dan berapa perkiraan biaya yang diperlukan untuk mencapai
SPM. Sehingga diharapkan semua kabupaten/kota telah mencapai SPM pada tahun 2014.
mencapaian SPM pada pelaksanaannya dilakukan secara
bertahap dimulai dari kondisi yang ada saat ini, pencapaian SPM sampai dengan
memenuhi SNP. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Analisis Kondisi
Pada
proses pencapaian SPM, analisis terhadap kondisi yang ada dilakukan terhadap
aspek pendidik dan ketersediaan sarana dan prasarana. Kondisi yang dilihat dari
aspek pendidik adalah kualifikasi dan sertifikasi. Sementara aspek sarana
prasarana antara lain buku untuk peserta didik dan set alat/media pembelajaran
IPA.
2) Target SPM
Target
pencapaian SPM antara lain setiap SD/MI memiliki pendidik yang berkualifikasi
S-1/D-IV dan memiliki sertifikasi pendidik sekurang-kurangnya 2 (dua) orang.
Setiap peserta didik memiliki satu set buku yang terdiri atas 4 (empat) mata
pelajaran atau buku elektronik yang setara dengan satu set buku dari 4 mata
pelajaran serta satu set alat/media pembelajaran IPA tanpa ruang laboratorium.
3) Pencapaian Standar Nasional Pendidikan
Setelah
SPM terpenuhi di semua satuan/program pendidikan, maka pencapaian SNP
dicanangkan dengan indikator pencapaian antara lain semua pendidik telah
memiliki kualifikasi S-1/D-IV dan sertifikat pendidik. Setiap peserta didik
memiliki satu set buku atau buku elektronik lengkap untuk semua mata pelajaran.
Setiap satuan/program pendidikan minimal memiliki laboratorium dan set
alat/media pembelajaran IPA, laboratorium bahasa, dan laboratorium komputer.
Juga setiap satuan/program pendidikan memiliki tenaga administrasi.
D.
Perbaikan-perbaikan
yang harus diperbaiki
Patut
diakui bahwa setelah hampir satu dasawarsa kebijakan wajib belajar 9 tahun ini
berjalan, banyak perkembangan yang
dicapai. Secara umum terjadi peningkatan sangat signifikan pada taraf
pendidikan masyarakat yang ditandai oleh cepatnya penurunan angka buta aksara
penduduk usia 15 tahun ke atas, peningkatan rata-rata lama sekolah penduduk
usia 7-15 tahun serta tingginya Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/SDLB/MI dan
SMP/SMPLB/MTs yang sudah lebih dari 90%.
Akan tetapi, banyak catatan kritis terhadap
‘keberhasilan’ di atas. Sasaran Program
Penuntasan Pendidikan Dasar 9 Tahun meliputi: (1) Semua Anak 7-15 tahun bisa
sekolah melalui pemenuhan akses dan daya tampung (2) Pendidikan dasar tanpa dipungut
biaya melalui penyediaan BOS untuk memenuhi 100 % biaya operasional sekolah;
(3) Layanan pendidikan dasar sesuai SPM (Standar Pelayanan Minimal) melalui
pemenuhan SPM pada SD dan SMP (sesuai dengan UU 20/2003 pasal 51 ayat 4)
(paparan Mendiknas pada Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI tanggal 22 September
2011 mengenai target RKA KL). Harus diakui, ketiga sasaran tersebut belum dapat
diwujudkan pemerintah secara optimal.
Wajib belajar pendidikan 12 tahun merupakan gagasan
progresif dalam rangka mendorong pemenuhan hak warga Negara akan pendidikan.
Sesungguhnya dengan kemauan dan komitmen politik yang kuat dari berbagai pihak,
gagasan tersebut dapat direalisasikan segera. Melihat kemampuan anggaran kita,
Pendidikan 12 tahun, sekali lagi, sangat mungkin diwujudkan mulai tahun depan.
Yang
mesti sangat diperhatikan adalah, gagasan tersebut akan terealisasi dengan baik
jika ada sinergi antara pusat dan daerah untuk membenahi sejumlah persoalan
yang selama ini meliputi implementasi anggaran dan program pendidikan nasional.
Sebagai contoh antara lain:
1) BOS
(Bantuan Operasional Sekolah)
BOS secara umum sudah
mulai berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah di tingkat pendidikan
dasar. Instrumen ini perlu diteruskan dengan memastikan peningkatan
penganggaran yang lebih tepat berdasar pada satuan biaya yang dibutuhkan (unit
cost) yang dihitung secara cermat, berikut pengawasan pelaksanaan anggaran yang
tegas untuk merealisasikan pendidikan dasar gratis yang bermutu.
Paling urgen untuk
dibenahi adalah perbaikan mekanisme penyaluran BOS yang menyebabkan terjadi
keterlambatan pencairan atau penerimaan BOS oleh sekolah. Hingga triwulan
ketiga ini, penyaluran BOS belum maksimal. Untuk itu, pemerintah didesak untuk
kembali pada mekanisme tahun sebelumnya, dimana dana BOS langsung diterima oleh
sekolah dari pusat melalui skema dekonsentrasi. Namun, untuk memaksimalkan
potensi dan kewenangan otonomi daerah, pusat sebaiknya segera menyiapkan
regulasi yang lebih matang agar daerah tidak lagi merasa ketakutan melakukan
pelanggaran regulasi / hukum.
Kurangnya sosialisasi
menyebabkan proses partisipasi masyarakat/komunitas pada pengelolaan anggaran
operasional sekolah menjadi lemah. Di sisi lain, Kurangnya tindakan tegas
pemerintah terhadap sekolah yang tidak transparan dan akuntabel dalam
pengelolaan BOS membuat banyak penyalah gunaan BOS terjadi di mulai tingkat
sekolah. Hal ini juga menyebabkan masih terjadi pungutan-pungutan yang
dilakukan oleh sekolah tanpa adanya mekanisme pengaduan masyarakat yang handal
maupun pengawasan dan tindakan tegas dari pemerintah.
Lemahnya transparansi
dan akuntabilitas pengelolaan dana BOS membuat BOS yang memang belum mencapai
standar pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan SNP tidak cukup efektif
mengurangi beban masyarakat untuk memenuhi kewajiban belajar 9 tahun, apalagi
menggratiskannya.
2) DAU
(Dana Alokasi Umum)
Selama ini DAU
berfungsi untuk memenuhi dana operasional pendidik dan tenaga kependidikan. DAU
merupakan komponen anggaran terbesar (73,22% untuk anggaran 2012) dari anggaran
fungsi pendidikan nasional. Selama ini belum ada evaluasi memadai atas
pemanfaatan anggaran untuk guru dan tenaga kependidikan ini. Kualitas dan
kinerja guru masih banyak yang memprihatinkan, meski pemerintah memberikan
tunjangan besar bagi guru profesional (dengan sertifikasi). Perlu ada evaluasi dan
pembinaan lebih serius untuk guru
sebagai ujung tombak pendidikan.
3) DAK (Dana Alokasi Khusus)
DAK
sebagai conditional transfer dimaksudkan sebagai insentif agar pemerintah
daerah mampu menyelenggarakan urusan tersebut dengan sebaik-baiknya. Tujuan
yang ingin dicapai dengan DAK adalah pencapaian prioritas nasional pada
sektor-sektor yang merupakan urusan dasar (pelayanan dasar) melalui pencapaian
standar pelayanan minimum (SPM) secara merata bagi seluruh warga negara di
seluruh daerah.
Pembagian
DAK Pendidikan masih banyak yang belum menyasar secara tepat. Belum ada
peta/gambaran yang memuat data kondisi sarana dan prasarana sekolah. Dasar yang digunakan untuk menentukan daerah
dan alokasi DAK belum jelas. DAPODIK
selama ini belum dapat dijadikan basis penentuan kebijakan. Ada daerah
yang kemampuan fiskalnya rendah (sesuai salah satu kriteria pemberian DAK)
namun memperoleh jumlah DAK yang lebih sedikit dibandingkan daerah yang
kemampuan fiskalnya sudah baik. Penentuan daerah dan jumlah alokasi dana yang
diterima daerah didasarkan pada kriteria umum, khusus, dan teknis. Namun
penentuannya belum transparan.
Masalah
lain adalah dana pendamping DAK sebesar 10% juga dianggap memberatkan bagi
daerah dengan PAD yang minim. Oleh karenanya sebaiknya diberikan diskresi untuk
tidak menyediakan dana pendamping (sebagaimana dimungkinkan PP 55/2005 tentang
dana perimbangan).
Tahun 2010 DAK
seluruhnya digunakan untuk fisik. Tahun 2011 ini, peruntukkan DAK dibagi untuk
fisik dan mutu (pengadaan/peningkatan alat) dengan rentang alokasi 35% - 65%
disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Secara singkat, berikut kelemahan implementasi
DAK :
- Akurasi data teknis
yang minim. Belum ada data/peta lengkap kondisi sarana pendidikan; sosialisasi
mengenai peruntukkan dan penggunaan DAK pendidikan masih kurang yang
mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan di daerah; komunikasi dan
koordinasi kemendiknas (Dirjen Dikdas) mengenai DAK masih kurang.
- Sinkronisasi antara
peruntukkan dana APBN dan APBD yang lemah.
- Belum adanya
perencanaan DAK berbasis kinerja
- Keterlambatan Juknis,
bentuk perubahan dari mekanisme belanja modal menjadi hibah kepenerima
manfaat/sekolah dalam DAK bidang pendidikan tahun 2009 dan perubahan dari hibah
ke belanja modal pada tahun 2010, masih ada Juklak yang harus ditunggu selain
Juknis DAK, Juknis dianggap terlalu rigid
- Belum adanya peraturan yang
mengatur mengenai penggunaan SILPA yang berasal dari sisa tender/optimalisasi
ataupun dana DAK yang tidak dilaksanakan sebelum 2010
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kesimpulanya adalah pemerintah kita memang sudah
sangat peduli pada pendidikan kita namun sayangnya kenapa baru mendapat sorotan
pada akhir-akhir tahun menjelang Pemilu. Selain itu masalah sekolah gratis atau
wajib belajar
yang diterapkan pemerintah itu selalu terhalang oleh bayaknya oknum-oknum yang
tidak bertanggung jawab yang telah mengotak-atik dan meyunat dana subsidi yang
seharusnya diberikan untuk pendidikan bangsa Indonesia yang semakin
memprihatinkan. Dan untuk mempercepat tercipta kemerataan sistem sekolah
garatis di Indonesia juga harus di tunjang dengan sistem subsidi silang yang
harus di terapkan oleh masyarakat yang mampu, yang mana dengan adanya sistem
subsidi silang ini dapat diharapkan dapat mengurangi beban Negara. Karena
masalah pendidikan itu bukan saja masalah Negara namun pendidikan juga
merupakan tanggung jawab kita bersama.
2.
Saran
Sebaiknya
dalam pelayanan pendidikan gratis pemerintah lebih mengutamakan masyarakat
miskin yang tingal di daerah atau kecamatan terpencil, yang jauh dari PUSDA
atau buku-buku atau peralatan sekolah tidak memadai.
Dengan
dikeluarkan kebijakan pendidikan gratis tersebut dapat menguras APBN, dengan
demikian apakah pemerintah dapat menanggulangi masyarakat miskin di negara
kita,
DAFTAR PUSTAKA
·
ttp://syariahpublications.com/2007/02/26/pendidikan-gratis-di-indonesia-bukan-mimpi/
·
http://agorsiloku.wordpress.com/2006/08/02/pendidikan-gratis-untuk-anak-indonesia/
·
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking